"Akan kukenalkan kau kepada hal-hal yang tak dapat kau temui di tempatmu"
Aku terlahir ‘sungsang’ sepuluh tahun lalu. Konon kata nenekku di
kampung, anak yang lahir demikian akan membawa kelebihan yang tak
disangka-sangka. Benar saja. Aku memiliki kelebihan merawat gigi dengan baik.
Setidaknya aku adalah bocah sepuluh tahun yang tidak senang makan permen,
coklat, gula-gula atau apapun yang akan merusak gigiku. Aku lebih senang nyemil wortel yang kandungan
vitamin A nya begitu tinggi. Terlebih aku membutuhkannya untuk kesehatan
mataku. Betapa tidak? Diusiaku yang terbilang dini atau sebut saja, bocah, aku
sudah mengenakan kacamata dengan ukuran minus dua di kedua mataku. Tetapi,
kusebut itu sebagai kelebihanku yang lain. Karena mataku yang minus itu adalah
hasil dari kebiasaanku menghabiskan seharian hidupku dengan membaca buku. Buku
terakhir yang aku baca adalah The Red Pyramid karya Rick Riodan. Aku bahkan memiliki
akun goodreads untuk mencari
referensi buku-buku terbaik dan memiliki ratting tinggi.
Beruntung, Ayah dan Ibu tidak pernah menolak memberiku uang untuk membeli
buku-buku yang terhitung mahal harganya, meski sebenarnya angka sepuluh adalah
usia yang terlampau muda—yaa kau dapat sebut aku bocah—.
IYA, terlampau muda jika kau memandangnya hanya sebatas deret hitung. Kulakukan
semua tanpa paksaan, hal itu muncul begitu saja seperti suatu hobi anak-anak
pada umumnya. Sama saja dengan Ola—sepupuku, anak bibiku yang
rumahnya tidak jauh dari sekolahku—yang senang bermain boneka
barbie sampai lupa mengerjakan PR.
“Mulya, kenalkan ini Heri dan Gugun”. Dua orang anak seusiaku
sedang berdiri disamping nenek dengan seragam lecek dan wajah dicucuri
keringat. Biar kutebak, mereka habis bermain bola di lapangan becek tak jauh
dari rumah nenek. Kemeja putihnya nyaris berubah warna menjadi krem kecoklatan.
Satu anak berambut galing membawa bola kempes dan satunya lagi membawa
keranjang berisi gorengan buatan nenek yang akan dijual di warung milik salah
satu orangtua dari mereka.
“Halo. Habis pulang sekolah, ya?”, kulontarkan pertanyaan yang
sebetulnya aku sudah tahu jawabannya. Mereka berdua mengangguk dan mengajakku
bermain bola bersama. Aku ragu sampai nenek mengijinkanku pergi. Bagaimanapun,
aku senang bermain bola. Bahkan tak mau ketinggalan setiap pertandingan tim
favoriktu, Real Madrid. Tadi malam saja aku begadang menonton pertandingan
madrid melawan barcelona.
“Cup! Ada anak baru, nih!”. Seperti dalam film berbau vandalisme saja mereka ini.
Ketika ada orang baru maka si anak buah akan melapor kepada ketua gank mereka. “Kenalin diri
dulu sana, Mul!”. Gugun—si anak dengan bola kempes—memintaku
memperkenalkan diri. Aku dengan naluri bocahku tersenyum memamerkan deretan gigiku yang
putih bersih kepada mereka, “Cakra Mulya. Nama aku Cakra, cuma sering dipanggil
Mulya”. Si anak yang dipanggil Cup dan kucap sebagai ketua gank kelompok ini
menatapku tajam, seperti polisi yang hendak menginterogasi penjahat, dan aku
penjahat kelas teri yang baru saja maling anak ayam di rumah warga.



