Saturday, 29 December 2012

ANAK KAMPUNG (bagian ke-1)

 "Akan kukenalkan kau kepada hal-hal yang tak dapat kau temui di tempatmu"

Aku terlahir ‘sungsang’ sepuluh tahun lalu. Konon kata nenekku di kampung, anak yang lahir demikian akan membawa kelebihan yang tak disangka-sangka. Benar saja. Aku memiliki kelebihan merawat gigi dengan baik. Setidaknya aku adalah bocah sepuluh tahun yang tidak senang makan permen, coklat, gula-gula atau apapun yang akan merusak gigiku. Aku lebih senang nyemil wortel yang kandungan vitamin A nya begitu tinggi. Terlebih aku membutuhkannya untuk kesehatan mataku. Betapa tidak? Diusiaku yang terbilang dini atau sebut saja, bocah, aku sudah mengenakan kacamata dengan ukuran minus dua di kedua mataku. Tetapi, kusebut itu sebagai kelebihanku yang lain. Karena mataku yang minus itu adalah hasil dari kebiasaanku menghabiskan seharian hidupku dengan membaca buku. Buku terakhir yang aku baca adalah The Red Pyramid karya Rick Riodan. Aku bahkan memiliki akun goodreads untuk mencari referensi buku-buku terbaik dan memiliki ratting tinggi. Beruntung, Ayah dan Ibu tidak pernah menolak memberiku uang untuk membeli buku-buku yang terhitung mahal harganya, meski sebenarnya angka sepuluh adalah usia yang terlampau muda—yaa kau dapat sebut aku bocah—. IYA, terlampau muda jika kau memandangnya hanya sebatas deret hitung. Kulakukan semua tanpa paksaan, hal itu muncul begitu saja seperti suatu hobi anak-anak pada umumnya. Sama saja dengan Ola—sepupuku, anak bibiku yang rumahnya tidak jauh dari sekolahku—yang senang bermain boneka barbie sampai lupa mengerjakan PR. 

“Mulya, kenalkan ini Heri dan Gugun”. Dua orang anak seusiaku sedang berdiri disamping nenek dengan seragam lecek dan wajah dicucuri keringat. Biar kutebak, mereka habis bermain bola di lapangan becek tak jauh dari rumah nenek. Kemeja putihnya nyaris berubah warna menjadi krem kecoklatan. Satu anak berambut galing membawa bola kempes dan satunya lagi membawa keranjang berisi gorengan buatan nenek yang akan dijual di warung milik salah satu orangtua dari mereka.

“Halo. Habis pulang sekolah, ya?”, kulontarkan pertanyaan yang sebetulnya aku sudah tahu jawabannya. Mereka berdua mengangguk dan mengajakku bermain bola bersama. Aku ragu sampai nenek mengijinkanku pergi. Bagaimanapun, aku senang bermain bola. Bahkan tak mau ketinggalan setiap pertandingan tim favoriktu, Real Madrid. Tadi malam saja aku begadang menonton pertandingan madrid melawan barcelona.

“Cup! Ada anak baru, nih!”. Seperti dalam film berbau vandalisme saja mereka ini. Ketika ada orang baru maka si anak buah akan melapor kepada ketua gank mereka. “Kenalin diri dulu sana, Mul!”. Gugun—si anak dengan bola kempes—memintaku memperkenalkan diri. Aku dengan naluri bocahku tersenyum memamerkan deretan gigiku yang putih bersih kepada mereka, “Cakra Mulya. Nama aku Cakra, cuma sering dipanggil Mulya”. Si anak yang dipanggil Cup dan kucap sebagai ketua gank kelompok ini menatapku tajam, seperti polisi yang hendak menginterogasi penjahat, dan aku penjahat kelas teri yang baru saja maling anak ayam di rumah warga.


“Mau ikut main??? Katanya kamu dari kota, ya?”. Aku mengangguk pelan, “WOOOY barudaaak!!! Ada temen baru dari kota, lhooo!”. Si ketua Gank malah berteriak senang, memegang tanganku dan meloncat-loncat seperti baru melihat artis cilik idolanya. “Hayu atuh! Kita main bola bareng!”. Dan akhirnya suasana bermain terjalin begitu ramai, aku dan teman-teman baruku melumuri tubuh dengan lumpur dari kubangan yang awalnya kuanggap jorok namun ternyata menyenangkan.

“Cup. Memangnya kamu nggak pernah sakit, ya main sambil hujan-hujanan kayak begini?”. Nama lengkap Cup atau biasa dipanggil Ucup adalah Yusup Suryana, usianya satu tahun lebih tua dariku. Teman-teman mengejeknya si kebo karena sering tertidur ketika guru mengajar di kelas. Tapi dia berprestasi dalam pelajaran olahraga dan merupakan anak kesayangan Pak Jarwo, begitu mereka memanggil guru olahraganya. Si Ucup mengambil kerikil di tanah tempat kami duduk santai menikmati gerimis lalu melemparkannya ke gawang kayu yang dibuat Mang Sodik, tetangga rumah nenek, “Kalau hobi mah mana bisa sakit, Mul! Ucup ini, sudah cita-cita bangetlah jadi pesepak bola kalau sudah besar nanti!”. Aku manggut-manggut saja dan ikut-ikutan melempar kerikil namun kulempar ke kubangan penuh air. Seperti terilhami, teman-teman sekaligus Ucup, Heri dan Gugun menarik tubuhku dan mendorongku sampai tercebur ke dalam kubangan. Bukannya marah, aku malah tertawa lepas. Aku curiga kalau aku jatuh cinta terhadap keramahan dan kekeluargaan anak-anak kampung ini. Rasanya seperti manusia dari planet modern yang serba mahal, maya dan individual lalu menginjakkan kaki ke tanah sunda yang serba sederhana dan hangat meski di tengah-tengah hujan dan basah kuyup.

“Permainan anak kampung itu, ya begitu, Mul. Sudah risiko kamu kena flu begini. Mana buka mulutnya!”. Aku membuka mulutku dan nenek memasukkan satu tablet bulat pipih yang kedua punggungnya berbeda warna, putih dan oranye. Akibat hujan-hujanan tadi sore, kini tubuhku panas dan bersin-bersin. Tetapi nenek sama sekali tidak memarahiku, justru memintaku untuk membiasakan bermain seperti itu jika datang liburan ke kampung nenek. Bukannya pergi ke pasar mencari warnet dan mendownload e-book. “Kalau masih kuat, mending sekarang kamu ikut si Gugun ngaji ke mesjid!”. Seperti diberi kekuatan super, aku mengiyakan tawaran nenek dan menunggu Gugun lewat di teras rumah.

“Gun! Gugun! Aku mau ikut ngaji, dong!”
“Mulya! Hayu atuh sini!”

Kukira mesjid tempat Gugun mengaji sudah dekat, ternyata kita harus melewati dulu pematang sawah menggunakan senter dan selama perjalanan ke mesjid, Gugun dan aku mampir ke rumah teman-teman lainnya untuk menjemput mereka mengaji. Ada hal unik yang belum pernah kulakukan dan rasanya sangat menyenangkan. Yaitu berteriak di depan pagar rumah memanggil nama teman yang kita jemput, “HERIII HAYU URANG NGAOOOSSS!”. ‘Heri ayo kita ngaji’.  Aku melakukannya dengan gembira disusul tawa. Biasanya, aku melakukan hal tersebut menggunakan handphone yang dibekalkan orangtuaku padaku. Hanya mengirimkan pesan singkat, maka teman yang kujemput sudah keluar rumah dengan senyum simpul. Tidak seperti sekarang, dengan tawa riang.

Selesailah kegiatan mengaji yang dibimbing Pak Haji Jaja. Konon menurut cerita, dulu nama Pak Haji bukanlah Jaja tetapi Deni. Namun, karena sering sakit-sakitan dan ketika berusia delapan belas tahun dirinya pernah dibawa oleh sanekala, yaitu semacam dedemit atau sebut saja hantu yang dipercayai sudah menjadi keramat di kampung tersebut. Akibat Pak Haji tidak mendengarkan perkataan warga kampung untuk tidak mandi di sungai dekat pematang sawah milik Mang Sodik. Alhasil beliau tidak sadarkan diri selama dua hari dan ketika berhasil disembuhkan oleh ‘orang bisa’ di kampungnya, orangtuanya berinisiatif untuk mengganti namanya menjadi Jaja Saefuloh. Takut kalau suatu saat si dedemit mengingat namanya dan membawanya kembali. Namun, biar bagaimanapun aku kurang begitu mempercayai hal demikian. Cerita seperti itu menjadi hiburan langka yang tak kudapatkan dari teman-temanku di kota serba modern sana.

“Kamu jangan sok berani, Mul! Cerita itu teh beneran, taukkk!”. Heri si bocah gempal seakan mendengar isi otakku dan menekankan bahwa aku harus mempercayai apa yang telah diceritakan oleh Gugun dan Ucup. “Iya, Mul. Malah si Ucup aja yang katanya jagoan nggak berani kalau lewat sungai itu mah! Langsung keok! Ha Ha Ha”, Ujar Gugun disusul gelak tawa kami, aku dan Heri. Sedangkan Ucup hanya mendelik dan mendengus saja tidak dapat berkomentar. 

“Besok kita main momobilan, okeh! Dahhh!”. Kulambaikan jari-jariku dibalas oleh Gugun dan kubuka pintu pagar, seraya masuk rumah kuucapkan salam dan dijawab oleh nenek yang sedang menonton televisi ditemani Bi Nuni, adik bungsu ibu yang baru selesai kuliah dan sedang nganggur sebelum menikah tahun depan, rencananya Bi Nuni akan bekerja di kantor Pemda di Bandung tempat tunangannya tinggal.

“Gimana, masih panas badannya, cu?”, aku baru ingat sebelum pergi tubuhku panas dan ketika kutempelkan punggung tanganku di kening, panasnya sudah hilang. “Sudah nggak, nek!”. Nenek hanya tersenyum dan aku bertanya dalam hati, kok bisa ya? Bagaimana tidak heran, jika sakit maka aku harus meringkuk di kasur minimal dua hari dengan bejibun makanan bergizi. Teringat Ayah dan Ibu, aku pergi ke kamar dan mengambil handphone yang kutaruh di bawah bantal. Tidak ada panggilan ataupun sms masuk. Tat Tut Tat Tut kuhubungi Ibu di rumah. Klik. Diangkatnya panggilan masuk dariku. Dan ternyata mereka masih bekerja. HHH. Kuputuskan untuk tidur saja.

“Sini! Biar Ucup bikinin momobilan”. Sesuai janji mereka tadi malam, akhirnya bertemulah kami di saung milik Mang Sodik setelah sebelumnya menebang pelepah pohon pisang untuk dijadikan momobilan seperti yang dikatakan Gugun, Ucup dan Heri. Aku baru tahu, ternyata begitulah cara kerjanya momobilan yang mereka maksud. Aku duduk diatas pelapah pisang diatas tanah yang menyerupai bukit, tanah menurun, jika kugulingkan tubuhku aku yakin akan meluncur seperti seluncuran yang ada di taman kanak-kanak dulu. Setelah aku duduk rapi sesuai intruksi mereka, lalu didorongnya aku dan suuuurrr, aku dan momobilan meluncur lalu disusul teman-temanku. Siapa yang duluan sampai, dialah si juara.

Kami lakukan permainan ini berulang kali sampai lelah. Lalu dilanjutkan dengan bermain petak umpet. Kali ini, aku tak perlu meminta diajari terlebih dahulu karena pernah memainkannya ketika TK dulu. Permainan pertama aku kebagian menjadi si pencari dan mereka yang bersembunyi. Kuhitung sampai sepuluh dan mereka menghilang secepat kilat. Aku mencari ke setiap tempat yang kucurigai dijadikan tempat bersembunyi. Bahkan sampai ke sela-sela padi pun aku cari tetapi nihil. Aku berjalan di jalan setapak di pematang sawah nyaris menyerah mencari mereka yang tidak kunjung kutemukan. Hingga kutemukan batu besar yang sangat mencurigakan. Letaknya tidak jauh dari sawah mang Sodik, tepat berada di aliran air yang jernih. Akhirnya kuturuni tanah menurun dan berjalan hati-hati melalui bebatuan menuju batu besar yang ukurannya lebih besar dari tubuhku. Aku mengendap-endap menuju kebalik batu, berharap dapat menemukan Gugun, Heri dan Ucup. Namun ternyata bukan mereka yang berada disana.

*tunggu cerita bagian ke-2 | terimakasih sudah membaca :) | No Plagiarism & Keep Respect! 

@Reginaliyana

No comments:

Post a Comment